Pembahasan
Kondisi perekonomian Cirebon masa
islam
Daerah cirebon dalam kedudukannya sebagai pemacu
berkembangnya islam di jawa barat serta hubungan cirebon dengan pusat kekuasaan
lain disekitarnya bisa memberi gambaran ada beberapa kenyataan misalnya,
Cirebon merupakan salah satu bandar tertua di timur, Jawa Barat pada kurun
waktu tertentu berhasil mengembangkan perdagangan regional maupun
internasional, kedudukan dan kharisma cirebon, terutama semasa sunan gunung
jati sampai panembahan ratu sangat dihormati dan “dituakan” baik oleh Banten
maupun Mataram, Cirebon telah berperan dalam menentukan barometer islamisasi di
wilayah Jawa Barat.
Karena Cirebon identik dengan Bandar atau Kota
Pelabuhan dulu peranan Cirebon sebagai tempat pemandian suci, namun lama
kelamaan sesuai dengan berubahnya jaman Cirebon telah berganti menjadi
pelabuhan yang berfungsi sebagai sumber pendapatan ekonomi dan perdagangan serta berhubungan
dengan dunia luar.dulu di keacamatan Cirebon utara terdapat sungai bondet yang
lebar, sangat memadai sebagai tempat berlabuh kapal-kapal layar yang berukuran
besar.
Pada tahun 1415 datang armada cina dipimpin
Laksamana Te Ho dan Kun Wei Ping berlabuh di Muara Jati. Mereka transit untuk
membeli perbekalan seperti air bersih maupun pangan. Perkembangan pelabuhan
Cirebon berlanjut seperti perdagangan internasional, terutama yang berhubungan
dengan Cina, mereka selalu membawa barang dagangan berupa kain sutera yang
sangat tinggi nilai jualnya dan mereka melakukan selama berabad-abad. Selain
sutera cina juga membawa rempah-rempah, buah-buahan, porselen, mesiu dan
lain-lain.
Demikian pula dengan Cirebon karena letak
geografisnya sangat strategis yaitu di daerah pesisir pantai utara pulau jawa
termasuk ke dalam mata rantai perdagangan internasional masa itu. Cirebon
sebagai kota pelabuhan identik sebagai pusat perekonomian dan perdagangan di
wilayahnya dan berfungsi sebagai keluar masuknya barang-barang kebutuhan ke pedalaman
terpencil melalui jalur darat atau sungai, misalnya jasa angkutan dan transportasi.
Erat hubungannya dengan pasar internasional dan domestik, yang membutuhkan
jalur transportasi sehingga terbentuk pusat-pusat pengumpulan barang dagangan
di tempat- tertentu untuk didistribusikan ke wilayah pedalaman yang sangat
membutuhkan atau sebaliknya.
Wilayah pedalaman diandalkan sebagai penghasil
bahan-bahan pertanian, apalagi daerah pedalaman Cirebon tanahnya subur karena
terdiri dari dataran rendah dan dataran tinggi serta daerah pegunungan
diantaranya gunung berapi. Hasil pertanian seperti sayur mayur, buah buahan,
ternak, padi, tarum atau indigo sangat dibutuhkan oleh dunia internasional.
Sebaliknya barang-barang dari luar yang menarik perhatian masyarakat pedesaan
adalah logam besi, emas, perak, tekstil halus (sutera) dan barang pecah belah
seperti keramik. Diperkirakan jalan darat yang menghubungkan Cirebon dengan
pedalaman sudah ada sejak zaman Hindu Pajajaran dan Galuh maupun Kerajaan Islam
Demak dan Cirebon. Dalam ekspedisi itu sampai ke Kuningan, Galuh, Palimanan,
Ciamis dan Telagadengan berjalan kaki, berkuda atau mengendarai gajah. Van
Inhoff (1746) menceritakan diantaranya ada dua jalan darat dari Banyumas menuju
Tegal dan jalam menuju daerah Priangan yaitu Kawali (Ciamis) menuju Cirebon
melalui Panjalu, Telaga (Kuningan), Sindang Kasih (Majalengka), Galuh (Plumohon
lalu ke Cirebon).
Dalam transaksi perekonomian dan perdagangan Cina
mempunyai peranan besar dalam jual beli barang dagangan baik yang dipergunakan
oleh masyarakat pedesaan, dengan luar daerah maupun dengan daerah Internasional,
biasanya memakai system barter atau tukar menukar barang kebutuhan atau dengan
mempergunakan mata uang Cina sebagai alat tukar terutama di Jawa. Uang Cina
tersebut didatangkan langsung dari Cina bahkan berlangsung terus sampai jaman
VOC. Selain mata uang Cina sebagai alat bayar ada juga uang Portugis disebut
Crusados, uang Malaka disebut Calais, uang local Jawa disebut tumdaya atau
tail. Di antara mata uang tersebut tidak jelas uang mana yang dijadikan ukuran
sebagai alat bayar. Seperti uang Cina yang ditengahnya berlubang diikat, setiap
ikatan memuat 100 keping uang logam tersebut nilainya sama dengan lima Calais
Malaka.
Sebelum kedatangan kebudayaan Hindu lalu lintas uang
di Nusantara sudah ada berupa uang stempel. Walaupun nilainya dibawah nilai nominalnya.
Masuk jaman Hindu bentuk uang berupa koin emas dan koin perak. Demikian pula
pada awal Kerajaan Islam terutama di daerah pesisir pantai yaitu daerah jalur
ekonomi dan perdagangan, dikenal berbagai jenis mata uang. di Cirebon berupa
takaran kecil dari Timah disebut picis.
Jelas arus lalu lintas perekonomian dan perdagangan di pelabuhan Cirebon begitu
ramai, tapi sayang dalam sumber sejarah yang ada tidak menggambarkan kapan
kondisi puncak masa kejayaan Cirebon itu. Namun dari gambaran tentang situasi
perekonomian dan perdagangan masih dapat dilihat dari catatan harian yang
dibuat Belanda. Disebutkan masa perdagangan Cirebon pada abad 17, justru pada
masa itu Cirebon mulai mengalami kemunduran akibat percaturan politick antara
Banten-Mataram dan Belanda, dengan demikian Cirebon tidak dapat lagi
mempertahankan kemajuan-kemajuannya di bidang politik dan perekonomian. Dimana
perdagangan melalui bendar Cirebon mengalami penyusutan, terutama sejak
terjadinya serangan Mataram ke Batavia ada kecurigaan kompeni Belanda terhadap
Cirebon dan Mataram. Disebutkan pula tanggal 30 April 1632 ada sekitar empat
atau lima ribu orang di Mataram dan 1000 orang dari Cirebon dibawah pimpinan
orang kaya Mattassary berangkat ke Batavia. Diceritakan pula 50 kapal dari Cirebon
membawa muatan beras mendarat di sebelah timur Karawang. Tanggal 7-12 Mei 1632
datang perahu-perahu dan kapal Melaya dari Cirebon membawa gula, minyak dan lain-lain
untuk keperluan Batavia.
Sementara perdagangan dari pelabuhan Cirebon terus
berlangsung ke Batavia. Ternyata Cirebon masih melakukan perdagangan ke
daerah-daerah lain seperti dengan Tiku di Sumatera Barat pada tanggal 28 Maret
1633 di Tiku ada 2 buah perahu dari Cirebon yang akan membawa 1000 atau 5000
pikul lada. Tanggal 16 April 1633 ada 2 buah jung kepunyaan raja Cirebon
berlayar dari Selebar mengalami kerusakan karena menabrak karang. Tanggal 30
April 1633 ada kapal melewati Selat Sunda menuju Cirebon. Tanggal 19 Desember
1633 ada kapal-kapal dari Cirebon menuju Batavia membawa gula, asam dan beras.
Tanggal 9 dan 26 Oktober 1634 ada kapal-kapal daricirebon membawa gula dan
beras menuju Batavia. Tanggal 8 Oktober
1632 kedatangan 20 kapal jung di Batavia bermuatan minyak kelapa, gula hitam,
beras, buncis putih dengan nahkoda shimkeij. Tanggal 26- 30 Oktober 1634
kapal-kapal dari Cirebon membawa muatan daging kijang, buah mangga dan pisang
serta barang lainnya.
KONDISI PEREKONOMIAN
CIREBON DARI MASA ISLAM
METRA
HULTIKULTUTRA ( 06111004015 )
JAKA DEFRI ANDI (
06111004016 )
KURNIA WATI DEWI
( 06111004021 )
TRI OKTI HARYANA
( 06111004032 )
NURDIANA KARTIKA
SARI ( 06111004037 )
FAKULTAS
KEGURUAN ILMU DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
Daftar
Pustaka
Bochari
Sanggupri dkk.2001.Sejarah Kerajaan
Tradisional Cirebon.Jakarta : CV Suko Rejo Bersinar
Zuhdi Susanto.1996.Cirebon Sebagai Bandar Jalur Sut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar