Pemerintahan
komisaris jendral di nusantara
A. Masa
pemerintahan komisaris jendral ( Van der cappalen ,ellout dan Buyskes
(1817-1819) )
Setelah
Indonesia kembali di bawah pemerintah kolonial Belanda, pemerintahan dipegang
oleh Komisaris Jenderal. Komisaris ini terdiri dari Komisaris Jenderal Ellout,
dan Buyskes yang konservatif, serta Komisaris Jenderal van der Capellen yang
beraliran liberal. Untuk selanjutnya pemerintahanan di Indonesia dipegang oleh
golongan liberal di bawah pimpinan Komisaris Jenderal van der Capelle.
Selama
memerintah, van der Capellen berusaha mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membayar hutang-hutang Belanda yang cukup
besar selama perang. Kebijakan yang diambil adalah dengan meneruskan kebijakan
Raffles yaitu menyewakan tanah-tanah terutama kepada bangsawan Eropa. Oleh
kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda,
kebijakan ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam perkembangannya, kaum
konservatif dan liberal silih berganti mendominasi parlemen dan pemerintahan.
Keadaan ini berdampak kebijakan di Indonesia sebagai tanah jajahan juga silih
berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda. Pada 1816
Komisaris Jendral Belanda telah datang ke Tanah Jajahan sebagai wakil Belanda
untuk mengambil alih pemerintahan dari Inggris. Komisaris Jendral yang terdiri
dari tiga orang itu berkuasa penuh atas daerah tersebut berdasarkan Regering
Reglement 1815 . Dalam menjalankan tugasnya Komisaris Jendral berusaha
menyesuaikan organisasi pemerintahan Pusat dan daerah dengan Regering Reglement
tahun 1815. Namun dalam melaksanakan maksud tersebut Komisaris Jendral
mengalami kesulitan karena perubahan yang dilaksanakan selama pemerintahan
Raffles tidak sesuai lagi dengan ketentuan dalam RR itu. Untuk mengatasi hal
tersebut maka perubahan terhadap RR dilakukan dan ditetapkan RR baru tahun
1816. Untuk melaksanakan RR baru tersebut salah seorang Komisaris Jendral yaitu
Van der Capellen diangkat menjadi Gubernur Jendral.
1) Bidang
administrative
Dalam melaksanakan tugasnya Komisaris Jendral tampaknya masih harus
berhati-hati. Lembaga kekuasaan tertinggi di Tanah Jajahan ini masih belum
memandang perlu untuk melakukan perubahan dalam tata pemerintahan daerah.
Pembenahan yang dilakukan oleh Raffles masih dilanjutkan
Para
Komisaris Jenderal berpegang kepada apa yang telah dilakukan Raffles sehubungan
dengan pajak yaitu melanjutkan landrente dengan memperbaiki administrasinya
peraturan yang ditetapkan pada tahun 1818 dan 1819 antara lain, pajak tanah per
individu diganti dengan per desa, penetapannya tidak ditetapkan secara pasti
dan jumlah yang harus dibayar suatu desa berdasarkan persetujuan, jadi
pembayaran pajak bisa dilakukan dengan cara tawar menawar dan dapat dibayar
dengan uang atau apa yang yang disuka oleh petani. Selain itu, mengenai tanam
wajib yang masih diteruskan Raffles, cenderung untuk diteruskan karena
tidak ada instruksi untuk menghapuskannya apalagi harga kopi yang sangat tinggi
pada masa itu. Komisaris Jenderal mempertahankan wajib kopi dengan memerdekakan
penduduk dari beberapa beban pajak yang di tetapkan Raffles. Sementara kerja
wajib ( rodi ) juga dipertahankan di hutan-hutan dengan ketentuan baru untuk
mencegah adanya penyelewengan kekuasaan.
Mengenai administrasi, Komisaris Jenderal
memperkuat administrasi yang ada dengan mengangkat pegawai baru dan penjabaran
tugas. Selanjutnya mereka menuntut perbaikan kualitas pegawai-pegawai yang
dikirim sehingga dapat bekerja, punya karakter, memahami daerah, dan kebudayaan
daerah tempat mereka bekerja. Sikap pegawai Eropa terhadap bumi putera berubah.
kalau dulu mereka menganggap jumlah pegawai bumi putera harus dikurangi dan
kemudian dihapus sama sekali, tetapi berdasarkan pengalaman mereka menyadari
bahwa tanpa adanya pegawai bumi putera, pegawai Eropa tak akan dapat
berkomunikasi dengan rakyat. Dalam UU 1819 berusaha menetapkan aturan-aturan
yang pada prinsipnya mencegah agar penduduk jangan diperlakukan oleh elit
tradisional mereka (namun dalam prakteknya penguasa pribumi dan penguasa Eropa
membuat rakyat menderita). Penderitaan rakyat di lengkapi lagi oleh bermacam
pajak seperti pajak garam dan kopi. Masa pemerintahan komisaris Jenderal
berakhir pada tahun 1819 dan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda di
tunjuk Baron Vander Capellen.
. Kepala pemerintahan Bumi Putera yaitu Bupati yang dipertahankan untuk
menjalankan beberapa fungsi bagi kepentingan penjajah tetap dipertahankan.
Komisaris Jendral berusaha keras untuk memehami kepentingan penguasa Bumi
Putera ini antara lain berusaha menjalin hubungan yang baik antara Residen
dengan para Bupati karena peran Bupati masih cukup penting yaitu debagai
Pimpinan Pemerin-tahan Bumi Putera dan Kepolisian Afdeeling. Kedudukan Bupati mengalami perubahan dengan
dikeluarkannya Stbl. Tahun 1820 Nomor 20 yaitu Reglement op de Verplichtingen, titels, en rangen der Regenten op het
Eiland Java. Reglemen ini juga mengalami perubahan dan kelak tahun 1922
timbul perubahan pemerintahan namun hal yang penting dalam peraturan tersebut
tetap berlaku. Dalam pasal (1) ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Bupati
adalah orang yang berkuasa atas penduduk yang ada di wilayahnya dan menjadi
tangan kanan Residen. Selanjutnya telah terjadi pergeseran peran Bupati yang
semula semata melaksanakan kepentingan penjajah namun sejak saat itu para
Bupati diberi tugas yang menyangkut perbaikan kesejahteraan rakyat kecil
seperti mengurusi pertanian, peternakan, keamanan, kesehatan rakyat, pengairan pemeliharaan
jalan, pendidikan, pembagian adil beban pajak, dan mengawasi pelaksanaan
perundang-undangan.
Sedemikian banyak tugas tersebut nyatalah bahwa tugas penguasa Bumi
Putera tidak ringan. Ketentuan baru yang harus dilaksanakan Bupati adalah
apabila ada kejadian penting ia wajib melaporkan kepada Residen. Disamping itu
Bupati juga dibebani tugas untuk mengawasi agama Islam. Semua itu atas
inisiatif Daendels. Rincian tentang gelar, kedudukan, upacara bagi para Bupati
dan keluarganya ditetapkan dengan undang-undang. Demikian pula tentang
penghargaan terhadap Bupati pada waktu itu diatur secara lebih sistematis
melebihi waktu sebelumnya. Pembentukan wilayah Kabupaten semula adalah
semata-mata wewenang penguasa lokal tradisional. Pada kenyataannya terdapat
Bupati yang mempunyai wilayah dan penduduk yang relatif kecil dan miskin
sehingga Bupati kecil itu tidak banyak urusannya dan di mata pemerintah
kolonial dianggap tidak berarti. Agara diperoleh imbangan dalam banyaknya
urusan yang ditangani, pada awal abad ke-19 beberapa kabupaten kecil dihapus.
Setelah diadakan penghapusan akhirnya di Jawa dan Madura terdapat 70 kabupaten
saja. Reorganisasi wilayah administratif
yang dilakukan pada masa Komisaris Jendral kecuali penghapusan kabupaten kecil
adalah pemecahan kabupaten yang berjumlah 70 yang ada di Jawa dan Madura.
Pemecahan wilayah administratif kabupaten menjadi daerah administrasi yang
lebih kecil yang disebut Distrik dengan penguasa seorang Kepala Distrik atau
Wedana. Selanjutnya wilayah Distrik dibagi menjadi beberapa Onder-Distrik yang
dikepalai oleh Kepala Onder-Distrik atau Asisten Wedana merupakan perkembangan
pemerintahan yang sempurna. Berdasarkan Stbl. 1819 nomor 16 wilayah Jawa dan
Madura oleh Komisaris Jendral dibagi menjadi 20 Gewest dengan satuan unit
birokrasinya. Residen diberi instruksi oleh Komisaris Jendral untuk bertanggung
jawab dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kerja lembaga peradilan
dan kepolisian dalam wilayahnya.Tugas pengawasan terhadap peradilan dan
kepolisian lebih banyak dilimpahkan kepada Asisten Residen. Sementara itu,
pengadilan polisi bagi Bumi Putera masih berada di bawah pengawasan Residen.
Kekuasaan Residen juga masih wewenang untuk memberi perintah kepada Jaksa
Kepala. Adapun para Bupati diberi kekuasaan untuk memerintah Jaksa. Dalam
menjalankan tugas kepolisian Residen berada di bawah pimpinan Pokrol Jendral.
Karena besar-kecilnya luas wilayah tidak sama maka ada beberapa Gewest yang
dikepalai oleh Asisten Residen dan sebagian besar dikepalai oleh Residen. Baru
pada 1866 semua Gewest mempunyai kedudukan sebagai Karesidenan.
Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa jabatan Asisten Residen timbul
pada masa Raffles memerintah. Saat itu Asisten Residen belum memiliki wilayah
kekuasaan karena demi kebijakan pemerintahan Bupati ditetapkan sebagai kepala
daerah Administratif Afdeeling. Baru pada masa kekuasaan Komisaris Jendral
Asisten Residen mulai mempunyai wilayah kekuasaan, yaitu memerintah wilayah
administratif Afdeeling dan di bawah perintah Residen sebagaimana ditetapkan
dalam Stbl. 1818 nomor 49. Karena wilayah kekuasaan Asisten Residen atau
Afdeeling sama dengan wilayah kekuasaan Bupati atau kabupaten maka nyatalah ada
organisasi pemerintahan yang rangkap. Tugas Asisten Residen dalam wilayah
Afdeeling adalah sama dengan tugas Residen dalam Gewestnya, terutama dalam
bidang pemerintahan dan kepolisian. Sementara itu Bupati meskipun pangkatnya
lebih tinggi daripada Asisten Residen namun ia harus tunduk kepada Asisten
Residen sebab Asisten Residen merupakan Kepalanya yang nomor dua sebagai wakil
Residen. Tumpang tindihnya wilayah kekuasaan itu menunjukkan bahwa Bupati tidak
mempunyai kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan kepolisian untuk
diselesaikan sendiri dan tidak mempunyai pendirian yang dapat dikembangkan
dengan wajar. Dalam UU 1819 berusaha menetapkan aturan-aturan yang pada
prinsipnya mencegah agar penduduk jangan diperlakukan oleh elit tradisional
mereka (namun dalam prakteknya penguasa pribumi dan penguasa Eropa membuat
rakyat menderita). Penderitaan rakyat di lengkapi lagi oleh bermacam pajak
seperti pajak garam dan kopi. Masa pemerintahan komisaris Jenderal berakhir
pada tahun 1819 dan sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda di tunjuk
Baron Vander Capellen..
2) Bidang
politik
Pada
tanggal 19 Agustus 1816 Jawa dan pos-pos Indonesia lainnya dikembalikan kepada
pihak Belanda sebagai bagian dari penyusunan kembali secara menyeluruh
urusan-urusan Eropa setelah perang –perang Napoleon . Pengembalian Indonesia ke
tangan Belanda tersebut sesuai dengan kesepakatan yang telah ditandatangani
antara Inggris-Belanda yang sering disebut dengan Konfensi London. Selain itu,
Konfensi London juga mengembalikan semua jajahan Belanda yang di taklukan
Inggris semenjak tahun 1803, kecuali Afrika Selatan, dan Ceylon juga terkecuali
karena telah diserahkan pada Inggris semenjak 1802. Untuk serah terima di
tunjuk 3 orang Komisaris Jenderal yang terdiri dari Cornelis Theodorus Elout,
Baron Van Der Capellen, dan A. A. Buyskes. Komisaris-komisaris ini dibantu oleh
H. W. Muntinghe yang berpengalaman. Dalam naskah serah terima dinyatakan bahwa
Komisaris Jenderal diberi kekuasaan atas nama raja dan berhak memerintah serta
menjalankan pemerintahan. Untuk sementara waktu, peraturan-peraturan sebelumnya
akan dipertahankan setelah diadakan penyelidikan-penyelidikan oleh Komisaris
Jenderal baru akan diadakan perubahan-perubahan. Pemerintahan baru ini di mulai
tahun1816 dengan nama pemerintahan Hindia-Belanda.
Banyak masalah yang dihadapi oleh Komisaris Jenderal antara
lain; masalah serah terima di luar Jawa, masalah Inggris (khususnya Raffles
yang tidak setuju dengan isi Konfensi London), masalah keuangan dan
mempersiapkan peraturan-peraturan yang sesuai dengan kondisi Jawa khususnya dan
Indonesia umumnya. Seperti dikatakan bahwa masalah serah terima serta keamanan
merupakan masalah yang cukup berat, seperti di Maluku dan Palembang.
Masalah di Maluku, kedatangan Belanda disambut dengan penuh curiga oleh
penduduk setempat. Kebencian yang mendalam akibat penindasan yang
dilakukan VOC dan dibandingkan dengan kelonggaran-kelonggaran yang diberikan
Inggris menyebabkan penduduk menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Akibat
kebencian tersebut meletus pemberontakan yang terkenal diantaranya di Palembang
juga terjadi perlawanan, Sultan Najamuddin yang di angkat Inggris (masa
Rafles) di buang ke Cianjur dan Sultan Badaruddin dan yang dulunya
menentang Belanda dan Inggris dinobatkan kembali (1818). Contoh
·
Pemberontakan
di Palembang
Setelah
belanda berkuasa kembali di nusantara maka belanda mengirim mungtianghe untuk
kembalimenginfansi Palembang(1817) .pada juli 1818 berangkat dari Bangka ke Palembang denagn misi
unuk menguasai Palembang di bawak kekeuasaan belanda. Dengan panduan dari
belanada akhirnya sultan najammudin mengembalikan tahata Palembang ke tangan
sultan badarudin ,karena posisi belanda amsih lemah dan di Palembang belum
stabil hal itu lah tidak membuang waktu
sultan badaruddin berencana melawan belanda ,awalnya njamuddin tidak terima
dimana ia minta pertolonganinggris untuk memperahanakan tahtanya namun dengan
tindakan tegas dari muantianghe dapat mengusir inggris di wlayah Palembang ,sat
stelah mengusir inggris muantianghe hendak kembali ke Palembang dengan
menyusuri sunagan musi namun ia mendapat serangan dari pihak sultan badaruddn
alhasil muatianghe sebagai imabalan yang terjadi atas dirinya agar sulatan
membuang putra mahkota ketanah jawa namun sulatan tidak mengindahkanaya ia mau
mengasingkan semua orang tetapi tidak untuk putranya (10 juni 1819).kemudian
muatianghe mau mengungsikan rakayat Palembang namun belum sempat mengungsikan
rakyat kapal dan pasukan muatianghe di serang pasukan sultan badaruddin
sehingga pasukan belanda kocar kacir dan muatianghe pergi dari Palembang dan
melapor ke vander capppalen di Batavia.yang saat itu telah menjabat menjadi
guberur jendral.
Kondisi nusantara pada tahun 1800-1816
Metrahultikultura
(06111004015)
Pendidikan sejarah
Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan
Universitas sriwijaya
keren masbro! sukses kedepannya yaa
BalasHapusKk ini dari buku apa aja kk
BalasHapusBanyak sekali materinya. kunjungi blog saya juga ya.
BalasHapusMakasii kak, sangat membantu!
BalasHapus