SEJARAH ISLAM
|
SEJARAH ISLAM DI FHILIPINA
|
NAMA : METRA HULTIKULTURA
|
NIM : 06111004015
|
PRODI : PENDIDIKAN SEJARAH
|
ISLAM DI FHILIPINA
A.
Masuknya Islam di Fhilipina
Sejarah masuknya Islam masuk ke wilayah Filipina
Selatan, khususnya kepulauan Sulu dan Mindanao pada tahun 1380 M. Seorang tabib
dan ulama Arab bernama Karimul Makhdum dan Raja Baguinda tercatat sebagai orang
pertama yang menyebarkan ajaran Islam di kepulauan tersebut. Menurut catatan
sejarah, Raja Baguinda adalah seorang pangeran dari Minangkabau (Sumatra
Barat). Ia tiba di kepulauan Sulu sepuluh tahun setelah berhasil mendakwahkan
Islam di kepulauan Zamboanga dan Basilan. Atas hasil kerja kerasnya juga,
akhirnya Kabungsuwan Manguindanao, raja terkenal dari Manguindanao memeluk
Islam. Dari sinilah awal peradaban Islam di wilayah ini mulai dirintis. Pada
masa itu, sudah dikenal sistem pemerintahan dan peraturan hukum yaitu
Manguindanao Code of Law atau Luwaran yang didasarkan atas Minhaj dan Fathu-i-Qareeb,
Taqreebu-i-Intifa dan Mir-atu-Thullab. Manguindanao kemudian menjadi seorang
Datuk yang berkuasa di propinsi Davao di bagian tenggara pulau Mindanao.
Setelah itu, Islam disebarkan ke pulau Lanao dan bagian utara Zamboanga serta
daerah pantai lainnya. Sepanjang garis pantai kepulauan Filipina semuanya
berada dibawah kekuasaan pemimpin-pemimpin Islam yang bergelar Datuk atau Raja.
Menurut ahli sejarah kata Manila (ibukota Filipina sekarang) berasal dari kata
Amanullah (negeri Allah yang aman). Pendapat ini bisa jadi benar, mengingat
kalimat tersebut banyak digunakan oleh masyarakat sub-kontinen
B.
Secara umum, gambaran Islam masuk di
Philiphina melalui beberapa fase, dari penjajahan sampai masa modern.
v Masa Kolonial Spanyol
Sejak masuknya orang-orang Spanyol ke Filipina, pada
16 Maret 1521 M, penduduk pribumi telah mencium adanya maksud lain dibalik
“ekspedisi ilmiah” Ferdinand de Magellans. Ketika kolonial Spanyol menaklukan
wilayah utara dengan mudah dan tanpa perlawanan berarti, tidak demikian halnya
dengan wilayah selatan. Mereka justru menemukan penduduk wilayah selatan
melakukan perlawanan sangat gigih, berani dan pantang menyerah. Tentara
kolonial Spanyol harus bertempur mati-matian kilometer demi kilometer untuk
mencapai Mindanao-Sulu (kesultanan Sulu takluk pada tahun 1876 M). Menghabiskan
lebih dari 375 tahun masa kolonialisme dengan perang berkelanjutan melawan kaum
Muslimin. walaupun demikian, kaum Muslimin tidak pernah dapat ditundukan secara
total. Selama masa kolonial, Spanyol menerapkan politik devide and rule (pecah
belah dan kuasai) serta mision-sacre (misi suci Kristenisasi) terhadap
orang-orang Islam. Bahkan orang-orang Islam di-stigmatisasi (julukan terhadap
hal-hal yang buruk) sebagai “Moor” (Moro). Artinya orang yang buta huruf, jahat,
tidak bertuhan dan huramentados (tukang bunuh). Sejak saat itu julukan Moro
melekat pada orang-orang Islam yang mendiami kawasan Filipina Selatan tersebut.
Tahun 1578 M terjadi perang besar yang melibatkan orang Filipina sendiri.
Penduduk pribumi wilayah Utara yang telah dikristenkan dilibatkan dalam
ketentaraan kolonial Spanyol, kemudian di adu domba dan disuruh berperang
melawan orang-orang Islam di selatan. Sehingga terjadilah peperangan antar
orang Filipina sendiri dengan mengatasnamakan “misi suci”. Dari sinilah
kemudian timbul kebencian dan rasa curiga orang-orang Kristen Filipina terhadap
Bangsa Moro yang Islam hingga sekarang. Sejarah mencatat, orang Islam pertama
yang masuk Kristen akibat politik yang dijalankan kolonial Spanyol ini adalah
istri Raja Humabon dari pulau Cebu,
v Masa Imperialisme Amerika Serikat
Sekalipun Spanyol gagal menundukkan Mindanao dan Sulu,
Spanyol tetap menganggap kedua wilayah itu merupakan bagian dari teritorialnya.
Secara tidak sah dan tak bermoral, Spanyol kemudian menjual Filipina kepada
Amerika Serikat seharga US$ 20 juta pada tahun 1898 M melalui Traktat Paris.
Amerika datang ke Mindanao dengan menampilkan diri sebagai seorang sahabat yang
baik dan dapat dipercaya. Dan inilah karakter musuh-musuh Islam sebenarnya pada
abad ini. Hal ini dibuktikan dengan ditandatanganinya Traktat Bates (20 Agustus
1898 M) yang menjanjikan kebebasan beragama, kebebasan mengungkapkan pendapat,
kebebasan mendapatkan pendidikan bagi Bangsa Moro. Namun traktat tersebut hanya
taktik mengambil hati orang-orang Islam agar tidak memberontak, karena pada
saat yang sama Amerika tengah disibukkan dengan pemberontakan kaum revolusioner
Filipina Utara pimpinan Emilio Aguinaldo. Terbukti setelah kaum revolusioner
kalah pada 1902 M, kebijakan AS di Mindanao dan Sulu bergeser kepada sikap
campur tangan langsung dan penjajahan terbuka. Setahun kemudian (1903 M)
Mindanao dan Sulu disatukan menjadi wilayah propinsi Moroland dengan alasan
untuk memberadabkan (civilizing) rakyat Mindanao dan Sulu. Periode berikutnya
tercatat pertempuran antara kedua belah pihak. Teofisto Guingona, Sr. mencatat
antara tahun 1914-1920 rata-rata terjadi 19 kali pertempuran. Tahun 1921-1923,
terjadi 21 kali pertempuran. Patut dicatat bahwa selama periode 1898-1902, AS
ternyata telah menggunakan waktu tersebut untuk membebaskan tanah serta hutan
di wilayah Moro untuk keperluan ekspansi para kapitalis. Bahkan periode
1903-1913 dihabiskan AS untuk memerangi berbagai kelompok perlawanan Bangsa
Moro. Namun Amerika memandang peperangan tak cukup efektif meredam perlawanan
Bangsa Moro, Amerika akhirnya menerapkan strategi penjajahan melalui kebijakan
pendidikan dan bujukan. Kebijakan ini kemudian disempurnakan oleh orang-orang
Amerika sebagai ciri khas penjajahan mereka. Kebijakan pendidikan dan bujukan
yang diterapkan Amerika terbukti merupakan strategi yang sangat efektif dalam
meredam perlawanan Bangsa Moro. Sebagai hasilnya, kohesitas politik dan
kesatuan diantara masyarakat Muslim mulai berantakan dan basis budaya mulai
diserang oleh norma-norma Barat. Pada dasarnya kebijakan ini lebih disebabkan
keinginan Amerika memasukkan kaum Muslimin ke dalam arus utama masyarakat
Filipina di Utara dan mengasimilasi kaum Muslim ke dalam tradisi dan kebiasaan
orang-orang Kristen. Seiring dengan berkurangnya kekuasaan politik para Sultan
dan berpindahnya kekuasaan secara bertahap ke Manila, pendekatan ini sedikit
demi sedikit mengancam tradisi kemandirian.
v Masa Peralihan
Masa pra-kemerdekaan ditandai dengan masa peralihan
kekuasaan dari penjajah Amerika ke pemerintah Kristen Filipina di Utara. Untuk
menggabungkan ekonomi Moroland ke dalam sistem kapitalis, diberlakukanlah
hukum-hukum tanah warisan jajahan AS yang sangat kapitalistis seperti Land
Registration Act No. 496 (November 1902) yang menyatakan keharusan pendaftaran
tanah dalam bentuk tertulis, ditandatangani dan di bawah sumpah. Kemudian
Philippine Commission Act No. 718 (4 April 1903) yang menyatakan hibah tanah
dari para Sultan, Datu, atau kepala Suku Non-Kristen sebagai tidak sah, jika
dilakukan tanpa ada wewenang atau izin dari pemerintah. Demikian juga Public
Land Act No. 296 (7 Oktober 1903) yang menyatakan semua tanah yang tidak
didaftarkan sesuai dengan Land Registration Act No. 496 sebagai tanah negara,
The Mining Law of 1905 yang menyatakan semua tanah negara di Filipina sebagai
tanah yang bebas, terbuka untuk eksplorasi, pemilikan dan pembelian oleh WN
Filipina dan AS, serta Cadastral Act of 1907 yang membolehkan penduduk setempat
(Filipina) yang berpendidikan, dan para spekulan tanah Amerika, yang lebih
paham dengan urusan birokrasi, untuk melegalisasi klaim-klaim atas tanah. Pada
intinya ketentuan tentang hukum tanah ini merupakan legalisasi penyitaan
tanah-tanah kaum Muslimin (tanah adat dan ulayat) oleh pemerintah kolonial AS
dan pemerintah Filipina di Utara yang menguntungkan para kapitalis.
Pemberlakukan Quino-Recto Colonialization Act No. 4197 pada 12 Februari 1935
menandai upaya pemerintah Filipina yang lebih agresif untuk membuka tanah dan
menjajah Mindanao. Pemerintah mula-mula berkonsentrasi pada pembangunan jalan
dan survei-survei tanah negara, sebelum membangun koloni-koloni pertanian yang
baru. NLSA – National Land Settlement Administration – didirikan berdasarkan
Act No. 441 pada 1939. Di bawah NLSA, tiga pemukiman besar yang menampung
ribuan pemukim dari Utara dibangun di propinsi Cotabato Lama. Bahkan seorang
senator Manuel L. Quezon pada 1936-1944 gigih mengkampanyekan program pemukiman
besar-besaran orang-orang Utara dengan tujuan untuk menghancurkan keragaman
(homogenity) dan keunggulan jumlah Bangsa Moro di Mindanao serta berusaha
mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Filipina secara umum. Kepemilikan
tanah yang begitu mudah dan mendapat legalisasi dari pemerintah tersebut
mendorong migrasi dan pemukiman besar-besaran orang-orang Utara ke Mindanao.
Banyak pemukim yang datang, seperti di Kidapawan, Manguindanao, mengakui bahwa
motif utama kedatangan mereka ke Mindanao adalah untuk mendapatkan tanah. Untuk
menarik banyak pemukim dari utara ke Mindanao, pemerintah membangun
koloni-koloni yang disubsidi lengkap dengan seluruh alat bantu yang diperlukan.
Konsep penjajahan melalui koloni ini diteruskan oleh pemerintah Filipina begitu
AS hengkang dari negeri tersebut. Sehingga perlahan tapi pasti orang-orang Moro
menjadi minoritas di tanah mereka
v Masa Pasca Kemerdekaan hingga Sekarang
Kemerdekaan
yang didapatkan Filipina (1946 M) dari Amerika Serikat ternyata tidak memiliki
arti khusus bagi Bangsa Moro. Hengkangnya penjajah pertama (Amerika Serikat)
dari Filipina ternyata memunculkan penjajah lainnya (pemerintah Filipina).
Namun patut dicatat, pada masa ini perjuangan Bangsa Moro memasuki babak baru
dengan dibentuknya front perlawanan yang lebih terorganisir dan maju, seperti
MIM, Anshar-el-Islam, MNLF, MILF, MNLF-Reformis, BMIF. Namun pada saat yang
sama juga sebagai masa terpecahnya kekuatan Bangsa Moro menjadi faksi-faksi
yang melemahkan perjuangan mereka secara keseluruhan. Pada awal kemerdekaan,
pemerintah Filipina disibukkan dengan pemberontakan kaum komunis Hukbalahab dan
Hukbong Bayan Laban Sa Hapon. Sehingga tekanan terhadap perlawanan Bangsa Moro
dikurangi. Gerombolan komunis Hukbalahab ini awalnya merupakan gerakan rakyat
anti penjajahan Jepang. Setelah Jepang menyerah, mereka mengarahkan
perlawanannya ke pemerintah Filipina. Pemberontakan ini baru bisa diatasi di
masa Ramon Magsaysay, menteri pertahanan pada masa pemerintahan Eipidio Qurino
(1948-1953). Tekanan semakin terasa hebat dan berat ketika Ferdinand Marcos
berkuasa (1965-1986). Dibandingkan dengan masa pemerintahan semua presiden
Filipina dari Jose Rizal sampai Fidel Ramos maka masa pemerintahan Ferdinand
Marcos merupakan masa pemerintahan paling represif bagi Bangsa Moro.
Pembentukan Muslim Independent Movement (MIM) pada 1968 dan Moro Liberation
Front (MLF) pada 1971 tak bisa dilepaskan dari sikap politik Marcos yang lebih
dikenal dengan Presidential Proclamation No. 1081 itu. Perkembangan berikutnya
kita semua tahu. MLF sebagai induk perjuangan Bangsa Moro akhirnya terpecah.
Pertama, Moro National Liberation Front (MNLF) pimpinan Nurulhaj Misuari yang
berideologikan nasionalis-sekuler. Kedua, Moro Islamic Liberation Front (MILF)
pimpinan Salamat Hashim, seorang ulama pejuang, yang murni berideologikan Islam
dan bercita-cita mendirikan negara Islam di Filipina Selatan. Namun dalam
perjalanannya, ternyata MNLF pimpinan Nur Misuari mengalami perpecahan kembali
menjadi kelompok MNLF-Reformis pimpinan Dimas Pundato (1981) dan kelompok Abu
Sayyaf pimpinan Abdurrazak Janjalani (1993). Tentu saja perpecahan ini
memperlemah perjuangan Bangsa Moro secara keseluruhan dan memperkuat posisi
pemerintah Filipina dalam menghadapi Bangsa Moro. Ditandatanganinya perjanjian
perdamaian antara Nur Misuari (ketua MNLF) dengan Fidel Ramos (Presiden
Filipina) pada 30 Agustus 1996 di Istana Merdeka Jakarta lebih menunjukkan
ketidaksepakatan Bangsa Moro dalam menyelesaikan konflik yang telah memasuki 2
dasawarsa itu. Disatu pihak mereka menghendaki diselesaikannya konflik dengan
cara diplomatik (diwakili oleh MNLF), sementara pihak lainnya menghendaki
perjuangan bersenjata/jihad (diwakili oleh MILF). Semua pihak memandang
caranyalah yang paling tepat dan efektif. Namun agaknya Ramos telah memilih
salah satu diantara mereka walaupun dengan penuh resiko. “Semua orang harus
memilih, tidak mungkin memuaskan semua pihak,” katanya. Dan jadilah bangsa Moro
seperti saat ini, minoritas di negeri sendiri.
C. Faktor Islam menjadi agama
minoritas diFilipina
Kota
Marawi dan Jolo dapat dianggap sebagai pusat keagamaan bagi komunitas muslim.
Kitab suci alQur’an telah diterjemahkan oleh dr.Ahmad Domacao Alonto kedalaam
bahasa Maranao, bahasa yang paling utama dikalangan muslim kebanyakan muslim di
Moro adalah petani dan nelayan. Dijabatan tinggi pemerintah Filipina tidak
berarti. Asosiasi islam yang paaling aktif adalah Asosiasi Muslim Filipina
(Manila), Ansar al Islam(Kota Marawi), Masyarakat Islam Mualaf (Manila) dan
yayasan Islam Sulu (jolo) dan sebagainya. Tahun 1983, Dewan Dakwah Islam
Filipina telah dibentuk untuk mempersatukan organisasi-organisasi Muslim di
utara dan selatan.
Menurut Majul, ada tiga alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegerasi secara penuh kepada republik Filipina. Pertama, bangsa Moro sulit menghargai undang-undang Nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi daan keluarga, karena undang-undang tersebut berasal daari Barat dan Katolik, seperti larangan bercerai dan poligami yang sangat bertentangan dengan hukum Islam yang membolehkannya. Kedua, system sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Filipina disemua daerah, tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro malas untuk belajar disekolah yang didirikan pemerintah. Mereka menghendaki dalam kurikulum itu adanya perbedaan khusus bagi bangsa Moro, karena adanya perbedaan agama dan kultur. Ketiga, bangsa Moro masih trauma dan kebencian yang mendalam terhadap program perpindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina kewilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah mengubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hampir disegala bidang kehidupan.
Menurut Majul, ada tiga alasan yang menjadi penyebab sulitnya bangsa Moro berintegerasi secara penuh kepada republik Filipina. Pertama, bangsa Moro sulit menghargai undang-undang Nasional, khususnya yang mengenai hubungan pribadi daan keluarga, karena undang-undang tersebut berasal daari Barat dan Katolik, seperti larangan bercerai dan poligami yang sangat bertentangan dengan hukum Islam yang membolehkannya. Kedua, system sekolah yang menetapkan kurikulum yang sama, bagi setiap anak Filipina disemua daerah, tanpa membedakan perbedaan agama dan kultur, membuat bangsa Moro malas untuk belajar disekolah yang didirikan pemerintah. Mereka menghendaki dalam kurikulum itu adanya perbedaan khusus bagi bangsa Moro, karena adanya perbedaan agama dan kultur. Ketiga, bangsa Moro masih trauma dan kebencian yang mendalam terhadap program perpindahan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah Filipina kewilayah mereka di Mindanao, karena program ini telah mengubah posisi mereka dari mayoritas menjadi minoritas hampir disegala bidang kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar